Amankah Minum dari Galon Isi Ulang?

Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan, air isi ulang menjadi sumber air minum utama yang paling banyak digunakan oleh rumah tangga di Indonesia pada 2020. Ada 29,1 persen rumah tangga di Indonesia yang menyatakan biasa minum air isi ulang.
Sebanyak 19,09 persen rumah tangga memilih minum air yang berasal dari sumur bor atau pompa. Kemudian, ada pula 14,35 persen rumah tangga yang minum air dari sumur terlindung.
Selain itu, ada 10,23 persen rumah tangga yang minum dari air kemasan bermerek pada 2020. Sedangkan, sebanyak 9,87 persen rumah tangga meminum air yang berasal dari leding.
Namun, penggunaan air isi ulang ini, kerap memunculkan kekhawatiran akan dampaknya bagi kesehatan. Pakar Teknologi Produk Polimer/Plastik yang juga Kepala Laboratorium Green Polymer Technology Fakultas Teknik Universitas Indonesia (FTUI), Prof Dr Mochamad Chalid, SSi MSc menegaskan, kemasan galon guna ulang secara disain material bahan bakunya relatif aman untuk air minum.
Meski dengan kemasan yang digunakan berulang kali. Menurutnya, perlu ada data lanjutan untuk dapat mengatakan bahwa penggunaan galon isi ulang berbahaya bagi kesehatan.
Senada, Dosen Biokimia dari Fakultas MIPA Institut Pertanian Bogor (IPB), Syaefudin, PhD mengungkapkan, Bisfenol A atau (BPA) yang tidak sengaja dikonsumsi para konsumen dari kemasan pangan akan dikeluarkan lagi dari dalam tubuh. Karena, BPA itu akan diubah di dalam hati menjadi senyawa lain sehingga dapat lebih mudah dikeluarkan lewat urin.
“Jadi sebenarnya, kalau BPA itu tidak sengaja dikonsumsi oleh kita tubuh kita. Misalkan, dari air minum dalam kemasan yang mengandung BPA," ujarnya. Dalam berbagai jenis proses pengelolaan makanna di dalam tubuh, yang paling berperan itu adalah hati.
Ada proses glukorodinase di hati, di mana ada enzim yang mengubah BPA itu menjadi senyawa lain yang mudah dikeluarkan tubuh lewat urin. Selain itu, kata Syaefudin, sebenarnya BPA ini memiliki biological half life atau waktu paruh biologisnya sendiri.
Artinya, ketika BPA itu misalnya satuannya 10, masuk dalam tubuh, dia selama lima hingga enam jam, maka ia akan tersisa sekitar lima . “Nah, yang setengahnya lagi itu dikeluarkan dari tubuh. Artinya, yang berpotensi untuk menjadi toksik dalam tubuh itu sebenarnya sudah berkurang,” jelas Syaefudin.
