Digitalnote

Meretas Jalan Implementasi AI yang Beretika

Pemanfaatan AI dengan etika (ilustrasi)

Menurut data Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/ Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), diprediksi pada 2045, teknologi mampu mendorong pertumbuhan ekonomi 5,7 persen hingga 7,1 persen. Pada data Bappenas di 2022 juga diproyeksikan, ekonomi digital akan memberikan kontribusi 20,70 persen terhadap Pendapatan Domestik Bruto (PDB) pada 2045.

Pada Kamis (23/11/2023), Medcom.id menggelar acara Tech Talk, di Jakarta dengan mengusung tema “AI Ethics”. Acara talkshow ini merupakan yang kedua kalinya, dan disponsori IBM serta mendapat dukungan dari Badan Riset dan lnovasi Nasional (BRIN) dan Microsoft, membahas etika penggunaan kecerdasan buatan yang kini implementasinya luas.

Scroll untuk membaca

Scroll untuk membaca

Dalam kesempatan tersebut, Kepala BRIN, Laksana Tri Handoko menegaskan, Pemerintah Indonesia juga sudah menaruh perhatian terhadap teknologi AI. Termasuk pengembangan ke depan dan panduan untuk mencegah kerugian yang ditimbulkan.

Baca Juga: Menganalisis Kemacetan Indonesia dengan Kecerdasan Buatan

Hal tersebut tertuang dalam Strategi Nasional Kecerdasan Artifisial Indonesia yang rencananya akan dijadikan Peraturan Presiden (Perpres) dan saat ini sudah masuk dalam Program Legislasi Nasional Prioritas (Prolegnas). Menurutnya, ada beberapa tantangan dalam mewujudkan etika kecerdasan artifisial di era digital.

Bukan soal infrastruktur, melainkan kepercayaan manusia atau masyarakat dan talentanya. Dia memandang teknologi AI itu hanya alat tapi berbasis data, sama seperti otak manusia bahwa kecerdasan itu karena ada basis data atau informasi yang terakumulasi.

Apabila tidak ada data maka AI tidak akan berkembang. “Setelah data tersedia permasalah selanjutnya adalah etika, bagaimana cara kita menjamin data yang yang digunakan tidak merugikan orang lain. Contohnya, pencuri bisa mencuri motor karena dia bisa punya informasi cara membobol kunci sepeda motor,” jelas Handoko.

Ia melanjutkan, teknologi AI bisa membantu melakukan data mining untuk mempermudah mendapatkan informasi penting, tapi di satu sisi tetap bisa merugikan. Handoko juga menyinggung persoalan AI dalam mengumpulkan dan memanfaat data tanpa izin pemilik data.

Handoko menceritakan protes dari asosiasi kedokteran yang menyoal kemampuan teknologi AI untuk memberikan diagnosis awal penyakit sebuah pasien. Kedokteran, tegas dia, tidak mempermasalahkan AI, melainkan cara teknologi mengumpulkan data dari jurnal kesehatan tanpa izin, mengingat jurnal ini tidak diperuntukan untuk pengumpulan informasi AI.

Dalam kesempatan yang sama, Kepala Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia Kementerian Kominfo, Hary Budiarto menyampaikan, kementerian tempatnya bernaung sudah merancang peta jalan pertumbuhan Indonesia di era digital. “Peta jalan ini menjawab isu dan tangan yang muncul mulai dari kesenjangan digital, disrupsi teknologi, isu data dan keamanan siber, isu kedaulatan digital, etika ruang digital, serta potensi ekonomi yang dihadirkan,” ujar Hary.

Menurutnya, regulasi atau kebijakan menjadi hal selanjutnya, tanpa kebijakan akan menimbulkan ke-semrawutan. Kalau infrastruktur bagus, pemerintah dan masyarakat juga sudah bagus mengenai teknologi ini, tapi kalau tidak ada transaksi ekonomi atau pemanfaatan optimal di dalamnya ya mubazir,” jelas Hary.

Hary mengaku, roadmap yang dirancang sudah sangat komplit. Mulai dari, pembangunan infrastruktur digital hingga penciptaan pemerintahan digital, ekonomi digital dan pengembangan masyarakat sebagai bagian dari implementasi dan pemanfaatan.

Ia menambahkan menyediakan sumber daya manusia yang menguasai teknologi termasuk AI serta mampu memanfaatkannya dengan optimal juga sama pentingnya dalam menciptakan etika teknologi AI. Hary mengakui, pekerjaan rumah untuk menyediakan talenta digital berkualitas dan bersaing kelas dunia sangat banyak.

Salah satunya, kelengkapan program yang dimiliki Kemenkominfo menunjukan bahwa langkah yang diambil saat ini sudah benar dan sejalan. “Kami punya target di tahun 2023 sebanyak 100 ribu talenta digital yang menguasai AI bukan coding tapi memahami teknologi tersebut, cara kerja, tata kelola dan lainnya,” kata Hary.

Program pelatihan tersebut akan dibagi menjadi beberapa kategori peserta, mulai dari kepala pemerintahan, swasta dan akademisi, kemudian pelajar dan pekerja untuk industri, dan masyarakat umum termasuk kalangan disabilitas. Program ini sifatnya inklusif dan berkelanjutan, serta gratis agar bisa diakses semua orang. Ini untuk menjawab keluhan terkait kurangnya talenta digital yang sesuai di Indonesia.