
Komunikasi Gen Z Terjebak di Echo Chamber! Emangnya Itu Apa?
Eduaksi | 2025-04-17 00:25:13
Pernah nggak sih kamu buka media sosial, terus nemu video yang nge-spill opini soal isu viral, dan kolom komentarnya isinya cuma ‘agree banget’, ‘setuju 100%’, atau ‘akhirnya ada yang ngomongin ini!’? Atau mungkin kamu pernah lihat grup WhatsApp keluarga yang isinya hanya saling mendukung opini yang seragam, sampai akhirnya debat nggak pernah selesai karena tidak ada yang benar-benar mau mendengarkan pendapat berbeda? Fenomena ini bukan hal baru, welcome to echo chamber!
Dalam era digital yang serba cepat dan algoritmik, echo chamber menjadi salah satu tantangan komunikasi yang diam-diam menggerus keterbukaan berpikir, terutama di kalangan Gen Z yang sangat aktif di media sosial.
Secara sederhana, echo chamber bisa diibaratkan seperti playlist lagu yang hanya memutar lagu-lagu favoritmu. Memang terasa nyaman, tapi lama-lama kamu jadi nggak tahu kalau ada lagu-lagu keren dari genre lain. Media sosial bekerja dengan cara yang mirip!
Algoritma membaca kebiasaanmu—apa yang kamu sukai, bagikan, atau komentari—dan dari situ, ia menyajikan konten yang dianggap relevan dengan minatmu. Hasilnya, kamu hanya melihat opini yang kamu setujui dan menyaring pendapat yang bertentangan. Akhirnya, kamu terjebak dalam gelembung yang berisi opini yang sejalan denganmu, seolah itulah satu-satunya kebenaran. Lama-lama, hal ini membuat kita cenderung menolak pandangan lain dan merasa tidak nyaman saat berhadapan dengan perspektif yang berbeda.
Masalahnya, echo chamber tidak hanya membentuk cara berpikir, tapi juga berdampak langsung pada cara berkomunikasi. Di media sosial, misalnya, perbedaan pendapat sering kali memicu reaksi emosional yang berlebihan. Banyak orang menjadi lebih mudah tersinggung dan terbiasa “menyerang” orang lain di kolom komentar, hanya karena pandangannya tidak sesuai dengan yang biasa mereka lihat.
Komunikasi berubah menjadi ruang penuh tensi dan defensif, bukan tempat berdiskusi secara sehat. Tidak hanya itu, echo chamber juga bisa memperparah konflik personal. Setelah bertengkar dengan teman atau pasangan, algoritma akan menyuguhkan konten yang memperkuat emosi negatifmu, mulai dari video motivasi yang bilang “kamu nggak salah” hingga curhatan warganet yang mengalami hal serupa. Validasi semacam ini memang terasa menyenangkan di awal, tapi bisa membuatmu sulit move on karena kamu tidak diberi kesempatan untuk melihat masalah dari sisi lain.
Bahkan dalam isu-isu besar seperti politik atau budaya populer, echo chamber sering kali mendorong seseorang untuk bersikap terlalu reaktif. Banyak Gen Z yang hanya membaca thread atau konten yang satu sisi saja, tanpa verifikasi atau mengecek kebenaran secara lebih luas. Akibatnya, opini jadi berat sebelah dan sulit menerima perbedaan.
Untuk bisa keluar dari pola ini, ada beberapa langkah sederhana yang bisa dilakukan agar komunikasi kembali terbuka dan sehat. Pertama, coba diversifikasi akun yang kamu ikuti di media sosial. Jangan hanya mengikuti akun yang sepemikiran denganmu, tapi tambahkan juga akun edukasi yang netral, konten komedi, atau bahkan akun yang sering memunculkan sudut pandang berbeda. Ini akan membantumu melihat dunia dari berbagai sisi dan tidak terjebak dalam kenyamanan semu.
Selain itu, memperbanyak komunikasi secara langsung juga nggak kalah penting. Bertemu teman, berdiskusi di luar ruang digital, atau terlibat dalam komunitas bisa memperluas sudut pandangmu dan memperkuat empati. Obrolan offline punya nilai lebih karena kamu bisa merasakan ekspresi, intonasi, dan konteks yang sering kali hilang di kolom komentar.
Terakhir, jangan ragu untuk membatasi waktu penggunaan media sosial. Terlalu lama scrolling hanya akan memperkuat gelembung yang kamu bangun sendiri! Memberi jeda dan ruang untuk berpikir tanpa intervensi algoritma bisa menjadi langkah kecil, tapi justru penting untuk mengembalikan kejernihan berpikir.
Echo chamber bikin komunikasi Gen Z kayak Wi-Fi error: nge-lag dan susah connect! Maka dari itu, mulai sekarang, yuk keluar dari gelembung media sosial kamu. Coba follow satu akun yang beda vibe, atau ajak teman ngobrol tanpa HP. Langkah kecil ini mungkin terlihat sepele, tapi bisa jadi kunci untuk keluar dari echo chamber dan bikin komunikasi kita nggak lagi nge-glitch!
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.