
Deepfake AI Diplomasi Asia Tenggara: Krisis Kepercayaan Internasional
Politik | 2025-04-15 01:30:41Era Deepfake dan Krisis Kepercayaan di Asia Tenggara
Di era Deepfake AI, kepercayaan internasional berada dalam ancaman nyata. Teknologi hoaks visual ini tidak hanya memalsukan wajah dan suara, tetapi juga bisa mengguncang diplomasi antarnegara, terutama di kawasan Asia Tenggara yang rentan terhadap disinformasi.
Bayangkan dunia tempat kebenaran bisa dipalsukan dengan mulus. Di layar ponsel kita, seorang presiden menyatakan perang. Tapi dua jam kemudian, video itu dibantah. “Itu bukan saya,” katanya. Kita jadi ragu. Siapa yang bisa dipercaya?
Itulah yang terjadi pada Maret 2022, saat sebuah video deepfake Presiden Ukraina,Terlihat Volodymyr Zelensky, dalam video yang menyebar dan menggegerkan publik. Video itu tampak meyakinkan ia berbicara, bergerak, bahkan menyampaikan pesan yang mengguncang: 'Menyerah'. Meskipun terbantahkan dengan cepat, rasa tidak percaya terlanjur muncul. Dan dalam dunia diplomasi, rasa tidak percaya adalah bom waktu.

Sekarang bayangkan skenario serupa terjadi di Asia Tenggara. Seorang pemimpin negara ASEAN, menjelang perundingan sensitif di Laut China Selatan, tiba-tiba “berbicara” dalam sebuah video viral yang memprovokasi tetangganya. Hanya dalam hitungan menit, hubungan diplomatik bisa memanas, bahkan sebelum klarifikasi sempat keluar. Inilah era baru yang sedang kita masuki era ketika informasi bisa terlihat nyata, tapi sejatinya palsu.
Deepfake dan Asia Tenggara: Kombinasi yang Berbahaya
Teknologi deepfake bukan lagi barang eksperimental. Dalam laporan Deeptrace, jumlah video deepfake global melonjak dari 8.000 menjadi lebih dari 49.000 hanya dalam setahun. Hari ini, kita bahkan tak perlu jadi ahli IT untuk membuatnya. Berbekal aplikasi gratis dan sedikit pelatihan YouTube, siapa pun bisa menciptakan wajah atau suara yang terlihat dan terdengar “nyata”.
Di Asia Tenggara, bahaya ini semakin nyata. Kawasan ini memiliki ekosistem digital yang aktif tapi belum sepenuhnya tangguh menghadapi serangan disinformasi visual. Microsoft pada 2023 mengungkap bahwa aktor negara menggunakan deepfake untuk menyebarkan narasi palsu, termasuk yang menyangkut Taiwan dan Laut China Selatan. Bahkan aktor non-negara kini bisa ikut bermain, menebar kepanikan, membentuk opini, bahkan memengaruhi kebijakan luar negeri suatu negara.

Diplomasi dalam Ujian Terbesar: Kepercayaan

Di ASEAN, kepercayaan strategis adalah fondasi utama diplomasi. Prinsip konsensus dan keharmonisan sangat dijunjung. Namun, deepfake menggerus fondasi ini secara diam-diam. Satu video palsu bisa menghambat dialog, mencederai reputasi, bahkan memperkeruh konflik yang sedang diredam.
Hukum yang ada belum siap. Indonesia memang punya UU ITE (Pasal 28 ayat 1) soal penyebaran informasi palsu. Tapi bagaimana dengan konten visual hiperrealistik yang belum bisa dideteksi secara otomatis? Bagaimana dengan kampanye pengaruh digital yang menyebar lintas negara dalam hitungan detik? Masih adanya ego sektoral antara Kementerian/Lembaga dalam menjalankan tugas dan fungsi penegakan hukum juga menjadi tantangan,, yang menyoroti belum solidnya koordinasi antarlembaga dalam menghadapi kejahatan siber di Indonesia.
Ilustrasi Buatan AI,menggambarkan Ketegangan antara kekuatan besar Tiongkok,Amerika Serikat,dan jepang dapat dimanipulasi oleh diinformasi visual berbasis AI ( Sumber: ChatGPT).
Menuju Diplomasi Digital yang Etis
ASEAN harus berani memimpin. Sudah saatnya kawasan ini membahas Digital Ethics Treaty sebuah norma bersama tentang batas-batas etis penggunaan AI dalam hubungan internasional. Bukan sekadar dokumen hukum, tapi komitmen moral untuk tidak menggunakan teknologi yang bisa memicu konflik atau menyebarkan kebohongan yang terkemas cantik.
Perusahaan teknologi pun tidak bisa lepas tangan. Mereka harus lebih dari sekadar platform. Mereka harus jadi penjaga gerbang informasi, berinvestasi dalam teknologi deteksi, dan membangun transparansi terhadap konten buatan AI.
Organisasi seperti Tools for Humanity sedang mengembangkan identifikasi biometrik untuk membedakan manusia asli dan “digital twin”. Tapi teknologi ini belum sempurna dan belum cukup cepat menyusul gelombang konten palsu yang terus naik.
Refleksi: Masa Depan Diplomasi Ada di Tangan Kita
Sebagai mahasiswa Hubungan Internasional, saya melihat bahwa tantangan deepfake bukan sekadar isu teknologi semata, melainkan soal 'kepercayaan' mata uang paling mahal dalam diplomasi. Sekali hancur, sangat sulit untuk dikembalikan. Ketika persepsi pemimpin, kebijakan, hingga peristiwa global bisa direkayasa secara visual oleh AI, maka masa depan hubungan antarnegara pun ikut terguncang. Deepfake telah menjadi ancaman strategis yang menggoyahkan fondasi diplomasi, khususnya di kawasan Asia Tenggara.
Oleh karena itu, perlu ada langkah kolaboratif antarnegara ASEAN untuk menyusun kode etik digital dan regulasi normatif dalam pemanfaatan teknologi AI. Pemerintah juga perlu memperkuat sistem hukum, mendorong transparansi algoritma, serta membangun sistem deteksi konten manipulatif yang melibatkan sektor swasta, akademisi, dan masyarakat sipil. Diplomasi masa depan harus adaptif terhadap disrupsi digital. Jika kita ingin menjaga perdamaian, maka kita juga harus menjaga kebenaran.
Deepfake bukan ancaman masa depan. Ia adalah ancaman hari ini.
Dan pertanyaannya bukan lagi “apakah kita siap?”
Tapi: Apa yang akan kita lakukan sebelum terlambat?
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.